Kebaikan perlu kebiasaan


“Kebiasaan bila telah berurat akar, akan menjadi suatu kewajiban, namun kebiasaan tersebut tak akan berlaku abadi bila dikerjakan dengan keterpaksaan.”
(Imam Abdullâh Al Haddâd)
Suatu kebaikan tidak akan berjalan mulus, bila disertai keterpaksaan. Seberat apapun pekerjaan, jika ditunaikan secara sadar tanpa ada perasaan terpaksa, akan langgeng. Tengoklah Imam Syafi`i r.a. atau Habib Ja`far bin Syaikhan As Segaf yang mengkhatamkan Al Quran saban hari. Ada pula segolongan hamba-hamba saleh yang berruku`-sujud tidak kurang dari sekian ratus bahkan sekian ribu rakaat dengan entengnya. Fakta demikian muncul karena telah menjadi sebuah kebiasaan bahkan keharusan yang jika ditinggalkan, ada perasaan tak enak di hati seolah-olah ada yang hilang dalam diri mereka.
Sejalan dengan itu pula, pekerjaan seringan bagaimanapun, namun jika dilakukan karena terpaksa, bakal berhenti entah untuk sementara waktu atau selama-lamanya, padahal perbuatan itu relatif mudah dan ringan.
Meski demikian, ada cara mudah untuk menyiasatinya yaitu membiasakan diri kita dalam memusatkan semua potensi diri agar tak terjebak oleh keadaan yang berat. Usahakan setiap waktu untuk diisi dengan kegiatan positif. Sedangkan, perbuatan negatif, jangan sampai terpikir di benak kita demi menghindari kecanduan perbuatan tak terpuji.
Sebagai contoh, cukup bagi pemula untuk melaksanakan shalat Dhuha dua rakaat dengan harapan terhindar dari kejenuhan dan keterpaksaan yang besar kemungkinan muncul manakala ditunaikan dengan jumlah yang terlalu banyak. Melaksanakan dua rakaat dari shalat Dhuha dan shalat-shalat sunnah lainnya secara “cicilan” tapi istiqamah, menjadi suatu keasyikan bahkan “candu” yang memotivasi untuk melipatgandakannya seiring perjalanan waktu. Sebaliknya, shalat sekian ratus rakaat dalam satu hari, di hari berikutnya, ia “bertaubat” darinya. Mengapa hal ini terjadi? Jawabnya, “kebiasaan tersebut tak akan langgeng bila dikerjakan dengan keterpaksaan.”
Selain dengan cara di atas, penting juga untuk diingat ialah menghindari perbuatan negatif. Perbuatan negatif yang ditradisikan juga akan menjadi candu jahat. Kita duduk di trotoar tanpa ada kemanfaatan, satu hari kita merasa nyaman, maka di hari-hari berikutnya menjadi kebiasaan yang sulit terlepas. Rasanya, sehari tidak ke trotoar, hampa, tidak asyik. Mengapa bisa terjadi? Jawabnya, “Kebiasaan bila telah berurat akar, akan menjadi suatu kewajiban.” Atau bagi para perokok, misalnya, kali pertama ia merasa tenggorokannya kering, batuk-batuk, tapi selanjutnya ia terbiasa bahkan dijadikan lambang keperkasaan dan kejantanan yang sulit ditanggalkan. Akibatnya, kala bangun tidur, tanpa membaca doa ala Rasul saw, malah mencari rokok kemudian menyulutnya.
Bersamaan dengan itu, dalam kasus kebiasaan baik ada hal yang penting pula dicatat. Yaitu buatlah majlis ta`lim, sebagai misal, dengan durasi waktu yang singkat untuk sementara waktu agar para audien merasa, “mengapa cepat benar selesainya?.” Barulah, untuk jadwal berikutnya waktu pembelajarannya ditambah sedikit demi sedikit sehingga para hadirin merasa tidak damai dalam hati bila tak menghadirinya.
Inilah raksasa rahasia di balik mentradisikan suatu hal. Intinya, tidak usah memberatkan dan tidak pula mengawali sesuatu dengan berat hati. Laksanakan segalanya dengan kelapangan hati disertai kesadaran diri.
Carilah Istiqamah, Bukan Karâmah
Kebaikan yang terus-menerus dilakukan melahirkan keistiqamaan. Amalan yang konsis dilaksanakan, mempunyai bobot pahala yang signifikan. Suatu ketika Abu Ali as-Syabwi bermimpi bertemu Rasulullah Saw. Ia kemudian menanyakan perihal memutihnya rambut beliau Saw sebab membaca surat al-Hud. “Bagian manakah yang menjadi penyebab memutihnya rambut anda; kisah para nabi dan binasanya umat?” beliau Saw menjawab, “Bukan, akan tetapi firman Allah Swt
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
“Maka istiqamahlah, sebagaimana diperintahkan kepadamu” (QS. Hud [11]: 112)”
Maksudnya, fastaqim `alâ dîni rabbik, wal `amali bihi wa Ad du`â ilaihi, (tetaplah kamu (Muhammad) di atas agama Tuhanmu, mengamalkan perintahnya dan mengajak orang untuk kembali kepada ajaran Allah).
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk tetap istiqamah. Kini giliran Allah memuji orang-orang yang istiqamah :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqâf [46]: 13)
Siapa saja yang sukses menjadikan dirinya sebagai orang orang yang istiqamah, tak akan pernah terbesit rasa takut di benaknya kala menghadapi sakratul maut, menghadapi Munkar-Nakir, tak gentar berdiri di padang Mahsyar, bahkan adzab neraka sekalipun, atau merasa kuatir atas nasib anak-istrinya, sebab mereka telah mendapat garansi keselamatan dan kebahagiaan langsung dari Allah. Merekalah penghuni surga berkat konsistensinya dalam kebaikan sehingga Allah timpali mereka dengan balasan yang layak.
Anehnya, tidak sedikit dari kita menginginkan karâmah. Karâmah, bagi sebagian orang, adalah kemampuannya terbang di awan, berjalan di atas air, meramal nasib orang, batu menjadi emas, atau beraksesoris tasbih besar yang dikalungkan ke leher, rambutnya tidak teratur plus berjenggot lebat. Padahal karâmah yang dimafhumi oleh Islam adalah bila kita istiqamah. Inilah karâmah yang bermakna kemulian dengan dijadikan diri kita istiqamah.
Itu sebabnya sebagian ulama berpesan,
كُنْ طَالِبَ اْلاِسْتِقاَمَةِ وَلاَ تَكُنْ طاَلِبَ اْلكََََرَامَةِ فَاِنَّ نَفْسَكَ َتهْتَزُّ وَتَطْلُبُ اْلكَرَاَمةَ وَمَوْلاَكَ يُطَالِبُكَ بِاْلِاسْتِقَامَةِ وَلَاَنْ تَكُونَ بِحَقِّ رَبِّكَ اَوْلَى َلكَ مِنْ اَنْ تَكُونَ ِبحَظِّ َنفْسِكَ
“Jadilah kamu pencari keistiqamahan dan jangan menjadi pencari kekeramatan. Sesungguhnya nafsumu berupaya dan mencari kekeramatan sedangkan Tuhanmu menuntutmu agar beristiqamah. Sungguh, lebih utama engkau prioritaskan hak Tuhanmu daripada bagianmu sendiri”
Ibadah Tidak Sama Dengan Kebiasaan
Sejatinya, seorang yang istiqamah adalah dia yang selalu menjaga komunikasi dengan Allah. Komunikasi yang aktif dengan Allah, walau sedikit, lebih baik ketimbang mempunyai hubungan yang akrab dan intens tapi setelah itu terputus total. Sama halnya, kita sowan kepada ibu kita dengan waktu yang sedikit namun dilaksanakan setiap hari jauh lebih bermanfaat daripada datang kepadanya seharian penuh, setelah itu tidak sama sekali.
Hanya saja, jangan memandang ibadah sebagai kebiasaan sehingga nihil dari perasaan mengagungkan dan membesarkan Allah. Kita shalat tanpa persiapan maksimal, berpakaian sekedarnya, dan menganggapnya sebagai urusan biasa belaka. Sudah menjadi keniscayaan, menjadikan ibadah sebagai hal istimewa di dalam singgsana hati. Ibadah adalah hal penting dalam kehidupan kita. Persiapkan ibadah secara lahir-batin.
Imam Ali Zainal Abidin pernah dianggap sombong karena beliau tiap hendak shalat senantiasa memoles diri dengan berhias rapi, mengenakan baju terbaik, dan meminyakinya. Saat itu, beliau menjawab, “Apakah kalian tidak membaca ayat Al Quran :
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap salat” (QS. Al A`râf [07]: 31).
Oleh karena itu, ibadah tidak boleh dipandang suatu kebiasaan tapi kebiasaan itulah yang dijadikan ibadah seperti, mandi yang diniati untuk membersihkan diri sebelum menghadap Allah, atau makan yang diniati supaya kuat dan sigap dalam beribadah serta berdakwah.
Dari sekilas pemaparan di atas, tersimpul bahwa kebiasaan akan berlaku kekal dan abadi saat kita membiasakannya, baik dalam hal positif apalagi negatif. Karenanya, carilah kebiasaan yang baik disertai keistiqamaan dan bukan malah mencari karâmah serta bukan juga menjadikan ibadah sekadar kebiasaan untuk kemudian menganggapnya remeh.

0 komentar: