Kebaikan perlu kebiasaan


“Kebiasaan bila telah berurat akar, akan menjadi suatu kewajiban, namun kebiasaan tersebut tak akan berlaku abadi bila dikerjakan dengan keterpaksaan.”
(Imam Abdullâh Al Haddâd)
Suatu kebaikan tidak akan berjalan mulus, bila disertai keterpaksaan. Seberat apapun pekerjaan, jika ditunaikan secara sadar tanpa ada perasaan terpaksa, akan langgeng. Tengoklah Imam Syafi`i r.a. atau Habib Ja`far bin Syaikhan As Segaf yang mengkhatamkan Al Quran saban hari. Ada pula segolongan hamba-hamba saleh yang berruku`-sujud tidak kurang dari sekian ratus bahkan sekian ribu rakaat dengan entengnya. Fakta demikian muncul karena telah menjadi sebuah kebiasaan bahkan keharusan yang jika ditinggalkan, ada perasaan tak enak di hati seolah-olah ada yang hilang dalam diri mereka.
Sejalan dengan itu pula, pekerjaan seringan bagaimanapun, namun jika dilakukan karena terpaksa, bakal berhenti entah untuk sementara waktu atau selama-lamanya, padahal perbuatan itu relatif mudah dan ringan.
Meski demikian, ada cara mudah untuk menyiasatinya yaitu membiasakan diri kita dalam memusatkan semua potensi diri agar tak terjebak oleh keadaan yang berat. Usahakan setiap waktu untuk diisi dengan kegiatan positif. Sedangkan, perbuatan negatif, jangan sampai terpikir di benak kita demi menghindari kecanduan perbuatan tak terpuji.
Sebagai contoh, cukup bagi pemula untuk melaksanakan shalat Dhuha dua rakaat dengan harapan terhindar dari kejenuhan dan keterpaksaan yang besar kemungkinan muncul manakala ditunaikan dengan jumlah yang terlalu banyak. Melaksanakan dua rakaat dari shalat Dhuha dan shalat-shalat sunnah lainnya secara “cicilan” tapi istiqamah, menjadi suatu keasyikan bahkan “candu” yang memotivasi untuk melipatgandakannya seiring perjalanan waktu. Sebaliknya, shalat sekian ratus rakaat dalam satu hari, di hari berikutnya, ia “bertaubat” darinya. Mengapa hal ini terjadi? Jawabnya, “kebiasaan tersebut tak akan langgeng bila dikerjakan dengan keterpaksaan.”
Selain dengan cara di atas, penting juga untuk diingat ialah menghindari perbuatan negatif. Perbuatan negatif yang ditradisikan juga akan menjadi candu jahat. Kita duduk di trotoar tanpa ada kemanfaatan, satu hari kita merasa nyaman, maka di hari-hari berikutnya menjadi kebiasaan yang sulit terlepas. Rasanya, sehari tidak ke trotoar, hampa, tidak asyik. Mengapa bisa terjadi? Jawabnya, “Kebiasaan bila telah berurat akar, akan menjadi suatu kewajiban.” Atau bagi para perokok, misalnya, kali pertama ia merasa tenggorokannya kering, batuk-batuk, tapi selanjutnya ia terbiasa bahkan dijadikan lambang keperkasaan dan kejantanan yang sulit ditanggalkan. Akibatnya, kala bangun tidur, tanpa membaca doa ala Rasul saw, malah mencari rokok kemudian menyulutnya.
Bersamaan dengan itu, dalam kasus kebiasaan baik ada hal yang penting pula dicatat. Yaitu buatlah majlis ta`lim, sebagai misal, dengan durasi waktu yang singkat untuk sementara waktu agar para audien merasa, “mengapa cepat benar selesainya?.” Barulah, untuk jadwal berikutnya waktu pembelajarannya ditambah sedikit demi sedikit sehingga para hadirin merasa tidak damai dalam hati bila tak menghadirinya.
Inilah raksasa rahasia di balik mentradisikan suatu hal. Intinya, tidak usah memberatkan dan tidak pula mengawali sesuatu dengan berat hati. Laksanakan segalanya dengan kelapangan hati disertai kesadaran diri.
Carilah Istiqamah, Bukan Karâmah
Kebaikan yang terus-menerus dilakukan melahirkan keistiqamaan. Amalan yang konsis dilaksanakan, mempunyai bobot pahala yang signifikan. Suatu ketika Abu Ali as-Syabwi bermimpi bertemu Rasulullah Saw. Ia kemudian menanyakan perihal memutihnya rambut beliau Saw sebab membaca surat al-Hud. “Bagian manakah yang menjadi penyebab memutihnya rambut anda; kisah para nabi dan binasanya umat?” beliau Saw menjawab, “Bukan, akan tetapi firman Allah Swt
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
“Maka istiqamahlah, sebagaimana diperintahkan kepadamu” (QS. Hud [11]: 112)”
Maksudnya, fastaqim `alâ dîni rabbik, wal `amali bihi wa Ad du`â ilaihi, (tetaplah kamu (Muhammad) di atas agama Tuhanmu, mengamalkan perintahnya dan mengajak orang untuk kembali kepada ajaran Allah).
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk tetap istiqamah. Kini giliran Allah memuji orang-orang yang istiqamah :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqâf [46]: 13)
Siapa saja yang sukses menjadikan dirinya sebagai orang orang yang istiqamah, tak akan pernah terbesit rasa takut di benaknya kala menghadapi sakratul maut, menghadapi Munkar-Nakir, tak gentar berdiri di padang Mahsyar, bahkan adzab neraka sekalipun, atau merasa kuatir atas nasib anak-istrinya, sebab mereka telah mendapat garansi keselamatan dan kebahagiaan langsung dari Allah. Merekalah penghuni surga berkat konsistensinya dalam kebaikan sehingga Allah timpali mereka dengan balasan yang layak.
Anehnya, tidak sedikit dari kita menginginkan karâmah. Karâmah, bagi sebagian orang, adalah kemampuannya terbang di awan, berjalan di atas air, meramal nasib orang, batu menjadi emas, atau beraksesoris tasbih besar yang dikalungkan ke leher, rambutnya tidak teratur plus berjenggot lebat. Padahal karâmah yang dimafhumi oleh Islam adalah bila kita istiqamah. Inilah karâmah yang bermakna kemulian dengan dijadikan diri kita istiqamah.
Itu sebabnya sebagian ulama berpesan,
كُنْ طَالِبَ اْلاِسْتِقاَمَةِ وَلاَ تَكُنْ طاَلِبَ اْلكََََرَامَةِ فَاِنَّ نَفْسَكَ َتهْتَزُّ وَتَطْلُبُ اْلكَرَاَمةَ وَمَوْلاَكَ يُطَالِبُكَ بِاْلِاسْتِقَامَةِ وَلَاَنْ تَكُونَ بِحَقِّ رَبِّكَ اَوْلَى َلكَ مِنْ اَنْ تَكُونَ ِبحَظِّ َنفْسِكَ
“Jadilah kamu pencari keistiqamahan dan jangan menjadi pencari kekeramatan. Sesungguhnya nafsumu berupaya dan mencari kekeramatan sedangkan Tuhanmu menuntutmu agar beristiqamah. Sungguh, lebih utama engkau prioritaskan hak Tuhanmu daripada bagianmu sendiri”
Ibadah Tidak Sama Dengan Kebiasaan
Sejatinya, seorang yang istiqamah adalah dia yang selalu menjaga komunikasi dengan Allah. Komunikasi yang aktif dengan Allah, walau sedikit, lebih baik ketimbang mempunyai hubungan yang akrab dan intens tapi setelah itu terputus total. Sama halnya, kita sowan kepada ibu kita dengan waktu yang sedikit namun dilaksanakan setiap hari jauh lebih bermanfaat daripada datang kepadanya seharian penuh, setelah itu tidak sama sekali.
Hanya saja, jangan memandang ibadah sebagai kebiasaan sehingga nihil dari perasaan mengagungkan dan membesarkan Allah. Kita shalat tanpa persiapan maksimal, berpakaian sekedarnya, dan menganggapnya sebagai urusan biasa belaka. Sudah menjadi keniscayaan, menjadikan ibadah sebagai hal istimewa di dalam singgsana hati. Ibadah adalah hal penting dalam kehidupan kita. Persiapkan ibadah secara lahir-batin.
Imam Ali Zainal Abidin pernah dianggap sombong karena beliau tiap hendak shalat senantiasa memoles diri dengan berhias rapi, mengenakan baju terbaik, dan meminyakinya. Saat itu, beliau menjawab, “Apakah kalian tidak membaca ayat Al Quran :
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap salat” (QS. Al A`râf [07]: 31).
Oleh karena itu, ibadah tidak boleh dipandang suatu kebiasaan tapi kebiasaan itulah yang dijadikan ibadah seperti, mandi yang diniati untuk membersihkan diri sebelum menghadap Allah, atau makan yang diniati supaya kuat dan sigap dalam beribadah serta berdakwah.
Dari sekilas pemaparan di atas, tersimpul bahwa kebiasaan akan berlaku kekal dan abadi saat kita membiasakannya, baik dalam hal positif apalagi negatif. Karenanya, carilah kebiasaan yang baik disertai keistiqamaan dan bukan malah mencari karâmah serta bukan juga menjadikan ibadah sekadar kebiasaan untuk kemudian menganggapnya remeh.

Manaqib Habib Soleh Alhamid Tanggul


Doanya Selalu Terkabul
Habib yang satu ini doanya sangat terkenal selalu terkabul dan orang yang sangat disegani dan dicintai. Dialah Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid, atau yang terkenal dengan panggilan Habib Habib Sholeh Tanggul (Jember)
Doa dari habib yang satu ini memang penuh rasa keikhlasan dan tidak tercampur sedikitpun dengan urusan duniawiyah. Wajarlah, bila setiap doa yang ia panjatkan sangat cepat dikabulkan oleh Allah SWT. Dialah Habib Sholeh bin Mukhsin Al-Hamid atau yang biasa dikenal dengan sebutan Habib Sholeh Tanggul.
Mengenai resep agar doanya cepat terkabul, pernah suatu ketika ada orang bertanya, "Ya, Habib Sholeh. Apa sih kelebihan ibadah Habib Sholeh yang tidak orang lain lakukan, sehingga doa Habib Sholeh cepat terkabul?"
Habib Sholeh menjawab, "Mau tahu rahasianya?"
"Saya tidak pernah menaruh pispot di kepala saya."
Orang itu bertanya kembali,"Apa maksudnya ya Habib?" tanya balik orang itu kepada Habib Sholeh.
"Menaruh pispot di kepala mu dalam beribadah. Artinya, janganlah membanggakan dunia. Janganlah bersaranakan dunia dengan beribadah."
Dunia kata pujangga adalah permainan, karena itu harus dipermainkan. Jangan kita dipermainkan.
"Contohnya bagaimana ya Habib?"
"Pispot walaupun terbuat dari emas murni yang terbaik di dunia dan bertahtakan intan berlian yang terbaik. Kalau dibuat topi, tetap akan membuat malu," kata Habib Sholeh.
"Maksudnya?"
"Kalau orang mau membanggakan dunia, bermodalkan dunianya. Semisal untuk membanggakan diri tujuannya untuk mencari dunia, lihat saja orang itu akan terjerembab oleh dunia. Karena amal orang itu dipamer-pamerin…," terang Habib Sholeh. Selain itu, kata Habib Sholeh jangan melakukan dosa syirik.
Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid sendiri lahir di Korbah, Ba Karman (Wadi Amd) Hadramaut pada tahun 1313 H. Ayahnya adalah Habib Muksin bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan Al-Bakry Al-Hamid, seorang yang saleh dan wali yang arif dan dicintai serta dihormati oleh masyarakatnya. Banyak orang yang datang kepadanya untuk bertawasul dan memohon doa demi tercapainya segala hajat mereka. Ibundanya seorang wanita shalihah bernama Aisyah dari keluarga Alabud Ba Umar dari Masyayikh Alamudi.
Habib Sholeh memulai mempelajari kitab suci Al-Quran dari seorang guru yang bernama Said Ba Mudhij, di Wadi Amd, yang juga dikenal sebagai orang saleh yang tiada henti-hentinya berzikir kepada Allah Swt. Sedangkan ilmu fikih dan tasawuf ia pelajari dari ayahnya sendiri, Habib Muksin Al-Hamid. Sewaktu kecil Habib Sholeh sebagaimana teman sebayanya, pernah menggembala kambing. Selain itu, ia ternyata mempunyai hobi menembak dengan senapan angin. Bahkan kemampuannya, bisa dikatakan luar biasa, karena ia dikenal sebagai penembak yang jitu.
Pada usia 26 tahun, tepatnya pada bulan keenam tahun 1921 M, dengan ditemani Assyaikh Al-Fadil Assoleh Salim bin Ahmad Al-Asykariy, Habib Sholeh meninggalkan Hadramaut menuju Indonesia. Mereka berdua sempat singgah di Gujarat (India) beberapa waktu, kemudian baru ke Jakarta. Kemudian sepupu beliau, Habib Muksin bin Abdullah Al-Hamid, seorang panutan para saadah atau masyarakat, mengajaknya singgah di kediamannya di Lumajang.
Ia menetap di Lumajang untuk beberapa saat. Kemudian pindah ke Tanggul (Jember) dan akhirnya menetap di desa ini.

Dakwah Habib Sholeh kepada masyarakat sekitar diawalinya dengan membangun musala di tempat kediamannya. Habib Sholeh Tanggul selalu mengisinya dengan kegiatan Shalat berjemaah dan hizib Al-Quran antara magrib dan isya di musala ini. Ia juga menggelar pengajian-pengajian yang membahas hal-hal mana yang dilarang oleh agama dan mana yang diwajibkan agama, kepada masyarakat sekitar.
Setiap selesai Shalat Asar, ia membacakan kitab An-Nasaihud Dinniyah, karangan Habib Abdullah Al-Hadad, yang diuraikannya ke dalam bahasa keseharian masyarakat sekitar, yakni bahasa Madura.
Beberapa tahun kemudian, ia mendapatkan hadiah sebidang tanah dari seorang muhibin, orang yang mencintai anak-cucu keturunan Nabi Muhammad, yakni H. Abdurrasyid. Tanah ini lalu ia wakafkan. Di atas tanah inilah ia membangun masjid yang diberi nama Riyadus Sholihin. Di masjid ini kegiatan keagamaan semakin semarak. Kegiatan keagamaan, seperti Shalat berjemaah, hizib Al-Quran, serta pembacaan Ratib Hadad, rutin dibaca di antara magrib dan isya.
Dalam kesehariannya, ia selalu melapangkan dada orang-orang yang sedang dalam kesusahan. Sering, bahkan, orang-orang yang sedang dililit utang, ia bantu untuk menyelesaikannya. Jika ia melihat seorang gadis dan jejaka yang belum kawin, ia dengan segera mencarikan pasangan hidup dengan terlebih dahulu menawarkan seorang calon. Apabila ada kecocokan di antara keduanya, segeralah mereka dinikahkan. Bahkan, sering Habib Sholeh yang membantu biaya perkawinannya. Pernah pula, dalam waktu sehari ia mendamaikan dua atau tiga orang yang bermusuhan.
Wasiat atau ajarannya yang paling terkenal, "Hendaklah setiap kamu menjaga Shalat lima waktu. Jangan pernah tinggalkan Shalat Subuh berjemaah. Muliakan dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua. Jadilah kamu sekalian sebagai rahmat bagi seluruh alam. Berbuat baik jangan pilih kasih, kepada siapa pun dan di mana pun."
Dalam kehidupan kemasyarakatan, ia juga terlibat sangat aktif. Antara lain, Habib Sholeh Tanggul juga tercatat sebagai pemberi spirit dengan meletakkan batu pertama pembangunan Rumah Sakit Islam Surabaya. Bahkan ia tercatat sebagai kepala penasihat rumah sakit. Ia juga tercatat sebagai ketua takmir Masjid Jamik yang didirikan di kota Jember yang pembangunannya juga dapat diselesaikan dalam waktu singkat berkat doa dan keikutsertaannya dalam peletakan batu pertama.

Menjelang wafatnya, tidak menunjukan tanda-tanda apa-apa. Hanya beliau sering mengatakan kepada keluarganya, "Saya sebentar lagi akan pergi jauh. Yang rukun semua yah, kalau saya pergi jauh jangan ada konflik," kata Habib Sholeh saat di bulan puasa.
Waliyullah yang doanya selalu terkabul itu wafat dengan tenang pada 7 Syawal 1396 H (1976) dengan meninggalkan 6 putra-putri yakni Habib Abdullah (alm), Habib Muhammad (alm), Syarifah Nur (alm), Syarifah Fatimah, Habib Ali dan Syarifah Khadijah. Jenazahnya kemudian dimakamkan di komplek pemakaman Selatan PJKA, Tanggul, Jember Jawa Timur.


Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin ‘Umar bin ‘Abdullah (BinJindan) bin Syaikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab 1324. Memulakan pengajiannya di Madrasah al-Khairiyyah, Surabaya sebelum melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah. Berguru dengan ramai ulama. Seorang ahli hadis yang menghafal 70,000 hadis (i.e. ada yang mengatakan ratusan ribu hadis). Beliau juga seorang ahli sejarah yang hebat, sehingga diceritakan pernah beliau menulis surat dengan Ratu Belanda berisikan silsilah raja-raja Belanda dengan tepat. Hal ini amat mengkagumkan Ratu Belanda, lantas surat beliau diberi jawaban dan diberi pujian dan penghargaan, sebab tak disangka oleh Ratu Belanda, seorang ulama Indonesia yang mengetahui silsilahnya dengan tepat. Tetapi tanda penghargaan Ratu Belanda tersebut telah dibuang oleh Habib Salim kerana beliau tidak memerlukan penghargaan.


Dalam usaha dakwahnya, beliau telah mendirikan madrasah di Probolinggo serta mendirikan Majlis Ta’lim Fakhriyyah di Jakarta, selain merantau ke berbagai daerah Indonesia untuk tujuan dakwah dan ta’lim. Mempunyai ramai murid antaranya Kiyai Abdullah Syafi`i, Habib Abdullah bin Thoha as-Saqqaf, Kiyai Thohir Rohili, Habib Abdur Rahman al-Attas dan ramai lagi.

Habib Salim juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga dipenjarakan oleh Belanda. Di zaman penjajahan Jepun, beliau juga sering dipenjara kerana ucapan-ucapannya yang tegas, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia, beliau juga sering keluar masuk penjara kerana kritikannya yang tajam terhadap kerajaan apalagi dalam hal bersangkutan agama yang sentiasa ditegakkannya dengan lantang.

Sifat dan kepribadian luhurnya serta ilmunya yang luas menyebabkan ramai yang berguru kepada beliau, Presiden Soerkano sendiri pernah berguru dengan beliau dan sering dipanggil ke istana oleh Bung Karno. Waktu Perjanjian Renvil ditandatangani, beliau turut naik atas kapal Belanda tersebut bersama pemimpin Indonesia lain. Beliau wafat di Jakarta pada 10 Rabi`ul Awwal dan dimakamkan dengan Masjid al-Hawi, Jakarta……Al-Fatihah.

Ratapan 10 Muharram - Fatwa Habib Salim

Lantaran Revolusi Syiah Iran yang menumbangkan kerajaan Syiah Pahlavi, maka ada orang kita yang terpengaruh dengan ajaran Syiah. Bahkan ada juga keturunan Saadah Ba ‘Alawi yang terpengaruh kerana termakan dakyah Syiah yang kononnya mengasihi Ahlil Bait.

Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan telah menulis sebuah kitab membongkar kesesatan Syiah yang diberinya judul “Ar-Raa`atul Ghoomidhah fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah”. Berhubung dengan bid`ah ratapan pada hari ‘Asyura, Habib Salim menulis, antaranya:

• Dan di antara seburuk-buruk adat mereka daripada bid`ah adalah puak Rawaafidh (Syiah) meratap dan menangis setiap tahun pada 10 Muharram hari terbunuhnya al-Husain. Maka ini adalah satu maksiat dari dosa-dosa besar yang mewajibkan azab bagi pelakunya dan tidak sewajarnya bagi orang yang berakal untuk meratap seperti anjing melolong dan menggerak-gerakkan badannya.

• Junjungan Rasulullah s.a.w. telah menegah daripada perbuatan sedemikian (yakni meratap) dan Junjungan Rasulullah s.a.w. telah melaknat orang yang meratap. Dan di antara perkara awal yang diminta oleh Junjungan Rasulullah s.a.w. daripada wanita-wanita yang berbaiah adalah supaya mereka meninggalkan perbuatan meratap terhadap si mati, di mana Junjungan s.a.w. bersabda: “Dan janganlah kalian merobek pakaian, mencabut-cabut rambut dan menyeru-nyeru dengan kecelakaan dan kehancuran”.

• Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadis daripada Sayyidina Ibnu Mas`ud r.a. bahawa Junjungan s.a.w bersabda: “Bukanlah daripada kalangan kami orang yang memukul dada, mengoyak kain dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (yakni meratap seperti ratapan kaum jahiliyyah).” Maka semua ini adalah perbuatan haram dan pelakunya terkeluar daripada umat Muhammad s.a.w. sebagaimana dinyatakan dalam hadis tadi.

• Telah berkata asy-Syarif an-Nashir li Ahlis Sunnah wal Jama`ah ‘Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur al-Hadhrami dalam fatwanya: “Perbuatan menyeru `Ya Husain’ sebagaimana dilakukan di daerah India dan Jawa yang dilakukan pada hari ‘Asyura, sebelum atau selepasnya, adalah bid`ah madzmumah yang sangat-sangat haram dan pelaku-pelakunya dihukumkan fasik dan sesat yang menyerupai kaum Rawaafidh (Syiah) yang dilaknat oleh Allah. Bahwasanya Junjungan Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka dia daripada kalangan mereka dan akan dihimpun bersama mereka pada hari kiamat.”

Janganlah tertipu dengan dakyah Syiah. Pelajarilah betul-betul pegangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah dan berpegang teguh dengannya. Katakan tidak kepada selain Ahlus Sunnah wal Jama`ah, katakan tidak kepada Wahhabi, katakan tidak kepada Syiah.

Ulama dan Pejuang Kemerdekaan

Ulama Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan.

Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan – yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.

Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.

Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.

Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi.

Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.

Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.”

Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, ”Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan.”

Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.

Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman – cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman.

Kembali Berdakwah

Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.

Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.

Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, ”Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai.”

Lalu kata pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa — menurut keyakinan Habib — belum mati, masih hidup.”

“Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,” jawab Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.

Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh. Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan. “Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim kala itu.

Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.

Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata.

Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim – dua putra almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.

Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga. ”Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.”

Disarikan dari Manakib Habib Salim bin Jindan karya Habib Ahmad bin Novel bin Salim

Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas


Beliau adalah seorang diantara sejumlah waliyullah asal Hadramaut, beliau seorang ulama besar yang memiliki karamah luar biasa, beliau di lahirkan di Huraidhah, Hadramaut pada hari Selasa pada tanggal 19 Ramadhan 1257 H/1837 M. Karamahnya yang sangat terkenal beliau mampu melihat secara batiniah, sementara pengelihatan lahiriahnya tidak dapat melihat sejak masih dalam penyusuan ibundanya, beliau terserang penyakit mata yang sangat ganas sehingga buta.
Kemampuan itu beliau miliki sejak masih kecil hingga berusia lanjut, suatu hari beliau memenuhi undangan salah seorang santrinya di Mesir, ketika sedang duduk bersama tuan rumah, tiba-tiba beliau meminta salah seorang hadirin membuka salah satu jendela karena semua jendela tertutup.”Angin di luar sangat kencang,” kata orang itu, akan tetapi Al-Habib Ahmad mendesak agar jendela di buka. Ternyata di bawah jendela itu anak sang tuan rumah tengah berjuang melawan maut, tercebur ke dalam kolam persis di bawah jendela. Tentu saja seluruh hadirin terutama tuan rumah panik, kontan Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-‘Atthas berseru agar orang-orang segera menyelamatkannya, dan alhamdulillah akhirnya anak itu selamat. Itulah salah satu karamah beliau, mampu melihat sesuatu yang terjadi dengan mata bathin yang justru tidak terlihat oleh orang biasa.
Ketika masih dalam penyusuan ibundanya beliau menderita sakit mata yang sangat ganas hingga buta, ibundanya sangat sedih, lalu membawa anaknya kepada Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas salah seorang ulama besar di zamannya. Sang ibu meletakkan bayi mungil itu di depannya, lalu menangis,” apa yang dapat kami perbuat dengan anak buta ini ? ” jerit ibunya.
Al-Habib Sholeh pun segera menggendong bayi itu lalu memandanginya dengan tajam, setelah berdoa tak lama kemudian ia pun berkata, ” anak ini akan memperoleh kedudukan yang tinggi. Masyarakat akan berjalan di bawah naungan dan keberkahannya, ia akan mencapai maqam kakeknya Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-‘Atthas.”
Mendengar kata-kata menyejukan itu sang ibu terhibur, maka sejak itu Al-Habib Ahmad yang masih bayi mendapat perhatian khusus dari Al-Habib Sholeh. Manakala melihat si kecil berjalan menghampirinya Al-Habib Sholeh pun berkata dengan lembut, “ selamat datang pewaris sirr (hikmah kebijaksanaan) Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-‘Atthas.” (Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas kakeknya adalah ulama besar dan waliyullah penyusun Ratib Al-Atthas yang sangat termasyhur). Lalu Al-Habib Sholeh mengangkat anak kecil itu untuk diboncengkan di kuda tunggangannya.
Sejak berusia lima tahun Al-Habib Ahmad sudah belajar mengaji kepada kakeknya yang lain Al-Habib Abdullah, setelah itu beliau belajar ilmu agama kepada Faraj bin Umar Sabbah, salah seorang murid Al-Habib Hadun bin Ali bin Hasan Al-‘Atthas dan Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas yang juga termasyhur sebagai ulama.
Seperti kebanyakan para ulama asal Timur Tengah, beliau juga memiliki daya ingat luar biasa, beliau mampu menghafal sesuatu dengan sekali dengar. Setiap kali ada ulama datang ke Huraidhah beliau selalu memanfaatkan kesempatan itu untuk menimba ilmu dari mereka. ”Aku selalu menghormati dan mengagungkan para ulama salaf yang datang ke kotaku, ” katanya.
Semua makhluk memang memiliki mata yang mampu melihat, memandang, mengamati, tapi hanya hamba Allah yang dipersiapkan oleh Allah SWT untuk dekat dengan-Nya yang mendapat anugerah mata hati (bashirah). Cerita Al-Habib Umar bin Muhammad Al-‘Atthas mengenai karamah Al-Habib Ahmad sangat menarik, “ketika masih kecil, aku suka bermain dengan Al-Habib Ahmad dijalanan, usia kami sebaya, ketika itu aku sering mendengar orang-orang memperbincangkan kewalian dan mukasyafah (kata benda untuk kasyaf, kemampuan untuk melihat hal-hal yang tidak kasat mata) Al-Habib Ahmad. Namun aku belum pernah membuktikannya,” katanya.
Suatu hari aku berusaha membuktikan cerita orang-orang itu. Jika ia seorang wali aku akan membenarkannya, tapi jika hanya kabar bohong aku akan membuatnya menderita. Kami menggali lubang lalu kami tutup dengan tikar, setelah tiba saat bermain aku mengajak Al-Habib Ahmad berlomba lari. Ia kami tempatkan di tengah tepat ke arah lubang itu, ajaib ketika sudah dekat dengan lubang itu ia melompat seperti seekor kijang. Awalnya kami kira kejadian itu hanya kebetulan, kami pun mengajaknya berlomba kembali, tetapi ketika sampai di depan lubang ia melompat kembali ketika itu kami sadar bahwa ia memang bukan manusia biasa,” katanya lagi.
Ketika berusia 17 tahun beliau menunaikan ibadah haji, kedatangannya di Makkah di sambut oleh Al-‘Allamah Mufti Haramain, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang menganjurkannya untuk menuntut ilmu Al-Qur’an kepada seorang ulama besar di Makkah, Syaikh Ali bin Ibrahim As-Samanudi, setelah hafal Al-Qur’an Al-Habib Ahmad mempelajari berbagai gaya qiraat Al-Qur’an.
Ketika membuka talim di Masjidil Haram, Sayyid Zaini Dahlan memberi kesempatan kepada beliau untuk membacakan hafalan Al-Qur’an-nya. Mereka memang sangat akrab, sering bertadarus bersama. Mereka juga sering berziarah ke berbagai tempat bersejarah di Makkah dan Madinah. Pada 1279 H/sekitar 1859 M, ketika usianya 22 tahun beliau pulang dan mengajar serta berdakwah di Hadramaut.
Berkhalwat di Huraidhah
Guru yang berjasa mendidik beliau antara lain, Al-Habib Abubakar bin Abdullah Al-‘Atthas, Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas, Al-Habib Ahmad bin Muhammad bin Alwi Al-Muchdlar, Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Idrus Al-Bar, Al-Habib Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf dan Al-Habib Muhammad bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih. Sementara guru-gurunya dari Makkah dan Madinah adalah Al-Habib Muhammad bin Muhammad Assegaf, Al-Habib Fadhl bin Alwi bin Muhammad bin Sahl Muala Dawilah dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.
Sedangkan kitab yang beliau pelajari (lewat pendengaran) dengan bimbingan Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas, antara lain, Idhahu Asrari Ulumil Muqarrabin, Ar-Risalatul Qusyairiyyah, Asy-Syifa’ karya Qadhi ‘Iyadh, dan Mukhtashar al-Adzkar karya Syaikh Muhammad bin Umar Bahraq. Sejak berguru kepada Al-Habib Sholeh beliau tidak pernah meninggalkan majelis itu, hingga sang guru wafat pada 1279 H/sekitar 1859 M.
Pada tahun 1308 H/kurang lebih 1888 M,ketika berusia 51 tahun beliau berkunjung ke Mesir, di temani oleh empat muridnya : Syaikh Muhammad bin Awudh Ba Fadhl, Abdullah bin Sholeh bin Ali Nahdi, Ubaid Ba Flai’ dan Sayyid Muhammad bin Utsman bin Yahya Ba Alawi. Beliau disambut oleh ulama terkemuka Umar bin Muhammad Ba Junaid. Selama 20 hari di Mesir beliau sempat mengunjungi Syaikhul Islam Muhammad Al-Inbabiy dan bebeapa ulama termasyhur lainnya di kairo.
Beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah untuk berziarah ke Makam Rasulullah SAW, beribadah umrah ke Makkah, lalu menuju Jeddah, Aden, Mukalla, kemudian pulang. Pada 1321 H/sekitar 1901 M, ketika berusia 64 tahun beliau berkunjung ke Tarim dan singgah di Seiwun untuk bertemu dengan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penyusun maulid Simthud Durrar. Ketika itu Al-Habib Ali meminta agar Al-Habib Ahmad memberikan ijazah kepada hadirin.
Pada usia 68 tahun sekali lagi beliau menunaikan ibadah haji, sekalian berziarah ke makam Rasulullah SAW. Pulang dari tanah suci beliau lebih banyak berkhalwat di Huraidhah, menghabiskan sisa usia untuk beribadah dan berdakwah. Beliau wafat pada hari senin malam 6 Rajab 1334 H/kurang lebih 1914 M dalam usia 77 tahun.
Banyak murid beliau yang di kemudian hari berdakwah di Indonesia, seperti Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang,Jakarta), Al-Habib Syekh bin Salim Al-‘Atthas (Sukabumi, Jawa Barat), Al-Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik, Jawa Timur), Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy (Malang, Jawa Timur) dan lain-lain.
Disarikan dari buku sekilas tentang Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-‘Atthas, karya Habib Novel Muhammad Alaydrus, putera Riyadi, Solo, 2003.


Syeikh Abubakar bin Salim dilahirkan pada tanggal 13 Jumadil Akhir 919 H di kota Tarim, Yaman. Ia tumbuh dewasa menjadi seorang tokoh sufi yang masyhur sekaligus seorang yang alim dan mengamalkan ilmunya.

Ayahandanya adalah Habib Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf

sedangkan Ibunda beliau adalah Syarifah Thalhah binti Agil bin Ahmad bin Abubakar As-Sakron bin Abdurrahman Assegaf.

Jauh sebelumnya, kelahiran beliau telah banyak diramalkan oleh para wali terkemuka, diantaranya adalah Al-Imam Ahmad bin Alwi yang tinggal di daerah Maryamah, sekali waktu beliau datang ke Inat dan ia duduk di sebidang tanah yang pada waktu itu hanya berupa semak belukar dan bebatuan. Ia berhenti sejenak di tempat tersebut dan berkata kepada masyarakat yang hadir waktu itu, “Akan lahir salah seorang anak kami yang akan mempunyai keagungan dan ia akan tinggal di tempat ini”. Selanjutnya ia berjalan berkeliling kota Inat sambil sesekali menunjukkan tempat-tempat yang kelak berkaitan dengan Syeikh Abubakar bin Salim, ia menunjukkan tempat yang akan dibangun masjid oleh Syeikh Abubakar dan ia sempat shalat disana, ia juga menunjukkan tempat dimana Syeikh Abubakar akan membangun rumah.

Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi meriwayatkan bahwa wali lainnya yang telah meramalkan keberadaan Syeikh Abubakar adalah Habib Muhammad bin Ahmad Jamalullail, ia berkata, “Akan ada disini (Inat) salah seorang dari anak-anak kami yang akan termasyhur dengan keagungan dan kewalian, dan Qubahnya akan berada dan didirikan di kota ini”.


Sejak kecil Syeikh Abubakar bin Salim telah menunjukkan tanda-tanda bahwa kelak ia akan menjadi orang yang memiliki kemuliaan. Pernah pada suatu kesempatan Syeikh Faris Ba Qais bersama para muridnya pergi ke Tarim. Ikut dalam rombongan Syeikh Faris 300 pemegang rebana yang mengiringi perjalanan itu dengan tabuhan rebananya. Setibanya di Tarim ia bersama pengikutnya mengunjungi Habib Syeikh Al-Idrus. Keesokan harinya Syeikh Faris berniat untuk menziarahi makam Nabi Hud AS, ia berkata kepada sejumlah habib, “Wahai habaib, kami membutuhkan seorang pengantar darimu, terus terang kami takut jika dalam perjalanan nanti ilmu kami dicuri orang”. Para Habib menyanggupi, “Jangan khawatir, kami cukup mempunyai banyak orang berilmu disini, lagi pula mencuri ilmu bukanlah kebiasaan kami”. Mulailah Syeikh Faris mencari orang yang dianggap mampu mengawal dia dan para pengikutnya, sampai akhirnya ia melewati Syeikh Abubakar bin Salim yang saat itu masih berusia 4 tahun, sedang bermain-main di jalan bersama teman sebayanya. “Aku pilih anak ini”, kata Syeikh Faris sambil menunjuk si kecil Abubakar bin Salim. Para habib segera menjawab, “Anak kecil ini mana pantas mengawalmu?”. Syeikh Faris berkata, “Aku adalah tamu kalian dan aku hanya menginginkan anak ini”. Para habib kemudian mendatangi ibu Syeikh Abubakar bin Salim dan mengabarkan persoalan yang mereka hadapi. Ibunya berkata, “Anak ini masih kecil, cari saja yang lain”. Mereka menjawab, “Syeikh Faris hanya menginginkan anakmu”. Akhirnya sang ibu memberikan izin.

Syeikh Abubakar kemudian digendong oleh pelayannya, Ba Qahawil, untuk mengawal Syeikh Faris dan rombongannya. Syeikh Umar Ba Makhramah, seorang wali Allah, yang ikut dalam rombongan Syeikh Faris memegang kepala Ba Qahawil sambil melantunkan syair yang diawali dengan bait-bait berikut:

Semoga Allah membahagiakan temanmu, hai Ba Qahawil pohon kurma apa ini, masih kecil sudah berbuah Mereka menanamnya di waktu Dhuha dan sudah memanennya di waktu senja.

Kemudian Syeikh Umar mengusap kepala Syeikh Abubakar bin Salim sambil meneruskan syairnya:

Wahai emas sejati, dengan pandangan-Nya Allah memeliharamu

semua lembah yang luas menjadi kecil dibanding lembahmu

Masa muda Syeikh Abubakar bin Salim dipenuhi dengan rutinitas pendidikan, selain didikan orang tuanya, juga tercatat beberapa ulama besar yang menjadi gurunya, antara lain, Syeikh Umar Basyeiban Ba’alawi, Syeikh Abdullah bin Muhammad Baqusyair, Syeikh Muhammad bin Abdullah Bamakhramah, Imam Ahmad bin Alwi Bajahdab, Syeikh Makruf Bajamal dan Syeikh Umar bin Abdullah Ba Makhramah.

Pada suatu ketika Syeikh Abubakar berniat belajar kepada salah seorang gurunya, Syeikh Makruf Bajamal yang tinggal di kota Syibam. Namun ia terpaksa berhenti di pinggir kota, karena Syeikh Makruf Bajamal belum berkenan menemuinya. Setiap kali dikatakan kepada Syeikh Makruf, “Anak Salim bin Abdullah meminta izin untuk menemuimu.” Jawabnya selalu, “Katakan kepadanya bahwa aku belum berkenan menerimanya”, meskipun ayah beliau adalah seorang yang dihormati karena kesalehannya. Syeikh Abubakar bin Salim tetap bersabar di bawah teriknya matahari dan dinginnya angin malam. Ia menguatkan hati dan mengendalikan nafsunya demi memperoleh asrar.

Baru setelah lewat 40 hari ia menerima kabar bahwa Syeikh Makruf bersedia menemuinya. Syeikh Makruf hanya memerlukan beberapa saat saja untuk menurunkan ilmu kepadanya. Sewaktu keluar dari kediaman Syeikh Makruf, ia mendapati sekumpulan kaum wanita yang mengelukan-elukan kedatangannya, “Selamat wahai Ibnu Salim, selamat wahai Ibnu Salim.” Mereka berbuat demikian dengan harapan mendapatkan sesuatu darinya. Iapun segera menyadari hal ini dan kemudian mendoakan agar mereka mendapatkan suami yang setia. Menurut Habib Ali hingga saat ini kaum wanita Syibam memiliki suami yang setia. Ketika Habib Ali ditanya, “Apakah Syeikh Ma’ruf juga termasuk salah satu dari guru-guru Syeikh Abubakar bin Salim?” Ia menjawab, “Ya, akan tetapi beliau kemudian mengungguli syeikhnya”.

Syeikh Abubakar bin Salim mempelajari Risalatul Qusyairiyah yang sangat terkenal dalam dunia tasawuf di bawah bimbingan Syeikh Umar bin Abdullah Ba Makhramah. Disebutkan dalam Kitab Tadzkirun Naas, sekali waktu Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas shalat ashar di masjid Syeikh Abdul Malik Baraja di Kota Seiwun, ia menunjukkan sebidang tanah sambil berkata : “Ini adalah sebidang tanah yang mana pernah terjadi satu peristiwa antara Syeikh Umar Bamakhramah dan Syeikh Abubakar bin Salim. Tatkala itu Syeikh Abubakar sedang belajar dan membaca kitab tasawwuf yang terkenal Risalah Al-Qusyairiyah, tatkala sedang membahas kekeramatan para wali, Syeikh Abubakar bin Salim bertanya kepada gurunya “Kekeramatan itu seperti apa ?”, dijawab oleh Syeikh Umar, “Contoh kekeramatan itu adalah engkau tanam biji kurma ini kemudian ia langsung tumbuh dan berbuah pada saat itu juga” Kemudian Syeikh Umar yang kala itu memang sedang memegang biji kurma, melemparkan biji kurma tersebut ke tanah dan kemudian langsung tumbuh dan berbuah, sehingga orang-orang yang hadir saat itu dapat memetik dan memakan buahnya. Orang-orang yang hadir pada saat itu berkata pada Syeikh Abubakar bin Salim “Kami menginginkan lauk pauk darimu yang ingin kami makan bersama kurma ini”. Tersirat dalam perkataan ini seolah-olah mereka bertanya kepada Syeikh Abubakar apakah ia mampu melakukan seperti yang telah dilakukan oleh Syeikh Umar. Lalu Syeikh Abubakar bin Salim berkata, “Pergilah kalian ke telaga masjid, lalu ambillah apa yang kalian temui disana”. Kemudian mereka pergi ke telaga masjid dan mendapati ikan yang besar disana. Lalu mereka ambil dan makan sebagai lauk pauk yang mereka inginkan.

Kegemaran Syeikh Abubakar bin Salim dalam menekuni ilmu pengetahuan dibuktikannya dengan menghatamkan Ihya’ Ulumuddin-nya Hujjatul Islam Al-Ghazali sebanyak 40 kali dan menghatamkan kitab fiqih syafi’iyah, Al-Minhaj karya Imam Nawawi sebanyak 3 kali. Dan diantara kebiasaannya adalah memberikan wejangan kepada masyarakat setelah sholat Jumat.

Diantara ibadah dan riyadohnya, pernah dalam waktu yang cukup lama ia berpuasa dan hanya berbuka dengan kurma yang masih hijau. Juga selama 90 hari ia berpuasa dan sholat malam di lembah Yabhur dan selama 40 tahun beliau sholat subuh di Masjid Baa Isa, di kota Lisk, dengan wudhu Isya. Setiap malam ia berziarah ke tanah pekuburan Tarim dan berkeliling untuk melakukan sholat di berbagai masjid di Tarim diakhiri dengan sholat Subuh berjamaah di masjid Baa Isa. Sepanjang hidupnya ia berziarah ke makam Nabiyullah Hud sebanyak 40 kali. Setiap malam, selama 40 tahun, ia berjalan dari Lisk menuju Tarim, melakukan sholat di setiap masjid di Tarim, mengusung air untuk mengisi tempat wudhu, tempat minum bagi para peziarah, dan kolam tempat minum hewan. Dan sampai akhir hayatnya sang Syeikh tidak pernah meninggalkan sholat witir dan dhuha.

Berbeda dengan para wali di Tarim yang hampir semuanya menutupi hal (keadaan) mereka, Syeikh Abubakar bin Salim mendapatkan perintah agar ia meng-izhar-kan (menampakkan) kewaliannya. Pada awalnya ia sendiri merasa enggan dan ragu, sampai akhirnya hal ini sampai kepada gurunya, Al-Imam Ahmad bin Alwi Bajahdab. Ia manyatakan, “Tidaklah maqam-nya Syeikh Abubakar bin Salim akan berkurang dengan nampaknya kewalian yang dimilikinya, karena kalimat Bismillah telah diletakkan di setiap perkataannya. Dan sungguh tidak berkurang sama sekali kadar maqam kewalian dikarenakan masyhurnya beliau, terkecuali seperti berkurangnya satu biji dalam makanan”. Tatkala perkataan guru beliau ini disampaikan kepadanya, Syeikh Abubakar bin Salim melakukan sujud syukur kepada Allah SWT dan berkata, “Aku merasa cukup dengan isyarat pengukuhan ini, sebagai lambang kemegahan dan keagungan yang diberikan Allah SWT”.

Setelah kejadian itu, ia berangkat dari Inat menuju Tarim untuk berziarah dan berjumpa dengan guru beliau tersebut, maka setelah sampai gurunya bertanya, “Bagaimanakah bentuk isyarat yang telah engkau terima ?”. Ia menjawab, “Sesungguhnya telah datang kepadaku serombongan pemuka kaum Ba’alawi dan bersama mereka ada Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, mereka semuanya memerintahkan kepadaku agar aku mengizharkan diriku. Bagaimanakah pandangan anda sendiri ?. Apakah saya dilarang ?. Sesungguhnya diriku sendiri kurang menyukai kemasyhuran ?”. Setelah mendengar perkataan beliau, gurunya diam sesaat dan setelah itu ia berbincang dengan Syeikh Abubakar bin Salim dengan perkataan yang tidak dipahami oleh orang yang hadir kala itu, kemudian gurunya berwasiat kepada Syeikh Abubakar dengan beberapa wasiat dan memerintahkan beliau untuk pulang dan menetap di kota Inat. Pulanglah Sang Syeikh ke Kota Inat, dan disanalah ia kemudian termasyhur. Namanya yang harum semerbak dikenal di seluruh penjuru negeri. Cahaya ilmu dan kemuliaannya berkemilau menerangi orang-orang yang berjalan di jalan Allah SWT. Ia hidupkan kota Inat dengan ilmu. Manusia datang dari berbagai pelosok daerah guna menuntut ilmu darinya sehingga Inat menjadi kota yang ramai oleh pencinta ilmu. Murid-murid beliau datang dari berbagai kota di Yaman dan mancanegara, antara lain Syam, India, Mesir dan berbagai negara lainnya. Diantara beberapa muridnya yang terkenal adalah Habib Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi, Shohibus Syiib, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Jufri, Habib Muhammad bin Alwi, Sayyid Yusuf Al-Qodhiy bin Abid Al-Hasany, Syeikh Hasan Basyaib serta beberapa murid lainnya.

Demi kepentingan pendidikan dan pengembangan dakwah, ia mendirikan sebuah masjid dan membeli tanah pekuburan yang luas. Al-Mualim Ahmad bin Abdurrahman Bawazir berkata, “Ada satu kisah yang diriwayatkan dari Al-Mualim Abdurrahman bin Muhammad Bawazir yang ia terima dari beberapa orang arifin, Beliau berkata, “Sesungguhnya tatkala Sayyidina Syeikh Abubakar bin Salim mendirikan masjidnya yang masyhur di Kota Inat, beliau berkata kepada orang yang sedang membangunnya dikala itu yaitu Ibnu Ali sambil menunjuk satu dinding yang baru didirikan, “Dinding yang didirikan ini tidak akan dimakmurkan oleh orang-orang, kami menginginkannya agar sedikit maju”. Ibnu Ali menjawab, “Ya Sayyidi yang engkau inginkan adalah kemaslahatan tetapi bagaimanakah kami akan merubahnya lagi, karena dinding ini sudah terlanjur didirikan di tempat ini”. Syeikh Abubakar yang saat itu sedang memegang tongkat memukul dinding tersebut, maka dengan izin Allah SWT dinding tersebut berpindah tempat dari tempatnya semula sampai pada tempat yang diinginkan olehnya”.

Penduduk Inat sangat mencintai Syeikh Abubakar, hal ini antara lain dikarenakan keluhuran budi pekerti yang dimilikinya. Beliau merupakan seorang dermawan yang suka menjamu tamu. Jika tamu yang berkunjung banyak, maka ia memotong satu atau dua ekor onta untuk jamuannya. Karena sambutan yang hangat ini, maka semakin banyak orang yang datang mengunjunginya. Dalam menjamu dan memenuhi kebutuhan para tamunya, ia tidak segan-segan untuk turun tangan sendiri. Mereka datang terhormat dan pulang pun dengan terhormat. Dalam kesehariannya, ia mengeluarkan sedekah sebagaimana orang yang tidak takut jatuh miskin, setiap hari ia membagikan seribu potong roti kepada fakir miskin.

Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat tawadhu, tidak ada seorang pun yang pernah melihatnya duduk bersandar ataupun bersila. Syeikh Abdurrahman bin Ahmad Ba Wazir, seorang yang faqih, berkata, “Selama 15 tahun sebelum wafatnya, di dalam berbagai majlisnya, baik bersama kaum khusus ataupun awam, Syeikh Abubakar bin Salim tidak pernah terlihat duduk, kecuali dalam posisi duduknya orang yang sedang tasyahud akhir”.

Semasa hidupnya beliau selalu membaca wirid-wirid tarekat, dan secara pribadi, ia mempunyai beberapa wirid dan selawat. Antara lain sebuah amalan wirid besar miliknya yang disebut Hizb al-Hamd wa al-Majd yang ia diktekan kepada muridnya sebelum fajar tiba di sebuah masjid. Itu adalah karya terakhir yang disampaikan ke muridnya, Allamah Faqih Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bawazir pada tanggal 8 bulan Muharram tahun 992 H.

Selain menyusun wirid dan selawat, Syeikh Abubakar bin Salim juga banyak menulis kitab, terutama yang berhubungan dengan masalah tasawwuf, antara lain Miftah as-Sara’ir wa Kanz adz-Dzakha’ir yang beliau susun sebelum usianya melampaui 17 tahun. Mi’raj Al-Arwah yang membahas ilmu hakikat. Beliau memulai menulis buku ini pada tahun 987 H dan menyelesaikannya pada tahun 989 H. Fath Bab Al-Mawahib yang juga mendiskusikan masalah-masalah ilmu hakikat. Ia memulainya di bulan Syawwal tahun 991 H dan dirampungkan dalam tahun yang sama tangal 9 Dzulhijjah. Ma’arij At-Tawhid, serta sebuah diwan yang berisi pengalaman pada awal mula perjalanan spiritualnya.

Perjalanan kehidupan Syeikh Abubakar bin Salim banyak dibukukan oleh para ulama terkenal, tidak kurang dari 25 buku yang menceritakan biografi kehidupan beliau, antara lain Bulugh Azh-Zhafr wa Al-Maghanim fi Manaqib As-Syeikh Abi Bakr bin Salim karya Allamah Syeikh Muhammad bin Sirajuddin. Az-Zuhr Al-Basim fi Raba Al-Jannat fi Manaqib Abi Bakr bin Salim Shahib Inat oleh Allamah Syeikh Abdullah bin Abi Bakr bin Ahmad Basya’eib. Sayyid al-Musnad pemuka agama yang masyhur, Salim bin Ahmad bin Jindan Al-Alawy mengemukakan bahawa dia memiliki beberapa manuskrip (naskah yang masih berbentuk tulisan tangan) tentang Syeikh Abu Bakar bin Salim. Di antaranya Bughyatu Ahl Al-Inshaf bin Manaqib Asy-Syeikh Abi Bakr bin Salim bin Abdullah As-Seggaf karya Allamah Muhammad bin Umar bin Sholeh bin Abdurrahman Baraja Al-Khatib.

Banyak dari kitab-kitab tersebut yang mencantumkan kisah kekeramatan Syeikh Abubakar bin Salim. Seperti yang diriwayatkan oleh Faqih Muhammad bin Sirojuddin Jamal Rohimahullah dalam kitabnya Bulughizhofri wal Maghanimi fi Manaqibi As-Syeikh Abu Bakar bin Salim RA. Sesungguhnya aku bermusafir ke negeri India pada bulan Asyura, tahun 973 H dengan naik kapal, sampai akhirnya pada satu tempat yang dikenal dengan Khuril Gari. Pada saat itu sangatlah gelap dan hujan turun sangat lebatnya, dan pada saat itu kapal kami mengalami kerusakan. Dan para penumpangnya merasa kebingungan dan ketakutan sehingga mereka menangisi keadaan mereka. Aku sendiri berdoa kepada Allah SWT dan bertawassul kepada para waliullah. Akupun lalu beristighasah dan bertawajjuh hatiku kepada Sayyidi Syeikh Abubakar bin Salim. Setelah aku bertawassul kepadanya, aku mendengar suara beliau seolah-olah begitu dekat denganku. Lalu aku berdiri dan memberitahukan kepada penumpang bahwasanya telah mendapatkan isyarat dan kabar gembira dalam keadaan yang sangat sulit saat itu. Dan ternyata kamipun diselamatkan oleh Allah SWT dengan kemuliaan Sayyidi Syeikh Abubakar bin Salim.

Juga diceritakan dalam Kitab Insus Salikin Ila Maqomatil Washilin yang dikarang oleh Sayyid Abdullah bin Ahmad Baharun. Didalam kitab tersebut diceritakan kisah dari Umar bin Ali Bamansur. Kami mendapat kabar dari seorang arifin, ia bercerita, tatkala wafat seorang wali besar yaitu As-Syekh Makruf Bajamal di negeri Budhoh, salah satu daerah di Dau’an. Kaum solihin melihat dengan ainul bashiroh mereka ada sungai dengan cahaya yang cemerlang mengalir dari Budhoh. Sungai tersebut mengalir ke Syibam dan memenuhi kota itu dengan cahaya hingga ke Ghurfah dan Tarim, sampai akhirnya ke kota Inat dan terakhir bermuara di hadirat Syeikh Abubakar bin Salim. Dari kabar ini, akhirnya seluruh murid Syeikh Makruf mengetahi bahwa maqam kewalian gurunya telah berpindah kepada Syeikh Abubakar bin Salim. Tertulis di dalam Majmu’ Kalam Al-Habib Ali Al-Habsyi bahwasanya Syeikh Makruf memiliki murid lebih kurang 100 ribu orang.

Pada waktu menjelang wafatnya, Syeikh Abubakar berada di kamar Sayyid Yusuf Al-Qodhiy bin Abid Al-Hasany salah seorang murid kesayangannya. Sambil memangku gurunya, Sayyid Yusuf membaca ayat Quran yang berbunyi Falammaa Qodhoo Zaidun Wathoro. Ia membaca ayat ini sebagai isyarat keinginan dari Sayyid Yusuf untuk mewarisi kedudukan kewalian Syeikh Abubakar bin Salim dan bila Syeikh Abubakar bin Salim menjawab dengan Zawwajnaa Kahaa, maka itu adalah isyarat bahwa kedudukan beliau akan diwarisi oleh Sayyid Yusuf, namun Syeikh Abubakar bin Salim tidak menjawab seperti itu, malah ia berkata “Wahai Yusuf, engkau menginginkan kedudukan kami. Sungguh kedudukanku adalah untuk anakku dan kalau sekiranya aku tidak mendapati daripada salah satu anak-anakku yang akan mewarisi kedudukanku, maka aku akan tanam maqam kewalianku ini di padang pasir Inat”. Jawaban beliau ini mengkiaskan bahwa maqam kewalian Syeikh Abubakar bin Salim hanya diwarisi oleh anak-anak beliau. Dan pada malam Ahad, tanggal 27 Dzulhijjah 992 H, Syeikh Abubakar bin Salim berpulang ke rahmatullah. Dengan meninggalkan keturunan yang kelak juga menjadi pemuka kaum Alawiyyin yang meneruskan jejak ayahnya. Beliau dimakamkan di kota Inat, Hadramaut. Di turbah (makam) Syeikh Abubakar bin Salim terdapat pasir atau tanah (katsib) yang sangat termasyhur kemujarabannya bagi orang-orang yang menginginkan keberkahan. Yang termasyhur bahwa tanah ini bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit dan oleh karena itulah juga Syeikh Abubakar bin Salim mendapatkan gelar Maula Katsib. Diceritakan oleh Sayyid Abdul Qodir bin Abdullah bin Umar bin Syeikh Abubakar bin Salim, beliau berkata, “Suatu ketika aku dan guruku Al-Arif Billah Ahmad Al-Junaid berziarah ke Inat dan kepada Sayyidi Syeikh Abubakar bin Salim. Sesudah ziarah guruku menginginkan dan mengambil pasir di makam tersebut untuk menyembuhkan luka yang dideritanya pada salah satu kakinya. Dan ia meminta kepada salah seorang daripada keturunan Syeikh Abubakar agar meletakkan pasir tersebut atas luka beliau, dan luka tersebut sembuh dengan seizin Allah SWT.

Selang beberapa waktu setelah wafatnya Syeikh Abubakar bin Salim, berkumpullah anak-anak beliau untuk mencari dan memilih siapa diantara mereka yang akan menjadi khalifah menggantikan ayah mereka. Mereka berkumpul di suatu Syi’ib, dan barang siapa mendapat tanda dari Allah SWT, maka dialah yang dipilih sebagai khalifah. Ternyata yang mendapatkan tanda adalah Sayyidina Husein bin Syeikh Abubakar. Ia mendapatkan langsung satu bejana yang berisi air turun dari langit. Maka anak-anak Syeikh Abubakar bin Salim pun meminum daripada bejana tersebut dan mereka berkata kepada Sayyidina Husein, ”Engkaulah yang berhak menjadi khalifah”.

Pada riwayat yang lain, diceritakan oleh Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi, “Tatkala Syeikh Abubakar bin Salim wafat, maka setiap anak-anak daripada Syeikh Abubakar bin Salim menginginkan menjadi khalifah menggantikan ayahanda mereka. Maka ibunda mereka berkata, “Kalian semuanya mempunyai keberkahan, akan tetapi siapa yang keramatnya terlihat maka ia akan menjadi khalifah”. Maka anak-anak Syeikh Abubakar bin Salim pergi ke Wadi Inat. Dan mereka membentangkan sajadah masing-masing ditengah Wadi Inat, lalu melakukan shalat serta bermunajah kepada Allah SWT. Tak lama kemudian turun kepada Syeikh Umar Al-Mahdhar bejana dan rantai emas dari langit. Maka Syeikh Umar memanggil saudara-saudaranya, “Apakah kalian mendapatkan sesuatu?”. Mereka menjawab “Tidak”. Maka merekapun menyerahkan kekhalifahan kepada Syeikh Umar, namun kekhalifahan diserahkan dan dipegang oleh Sayyidina Husin. Beliau berkomentar mengenai saudaranya Syeikh Umar Al-Mahdhar. “Sesungguhnya aku bersahabat dengan saudaraku Umar Al-Mahdhar dan aku tidak merasa sebagai saudaranya, akan tetapi aku merasa dan menempatkan diriku sebagai pembantu dan murid baginya”.

Dikisahkan bahwa Sayyidina Husin sekali waktu mendapatkan gangguan dari para pembesar setempat beserta pasukannya, sehingga membuatnya berhijrah ke Mekkah dan Madinah dan menetap disana selama 7 tahun. Pada suatu hari beliau didatangi oleh Nabi Khidir AS dan berkata, “Sesungguhnya datukmu Rasulullah SAW mengucapkan salam atasmu dan memerintahkan dirimu agar segera pulang ke Hadramaut”. Nabi Khidir memberitahukan kepadanya bahwa rasa permusuhan dari musuh-musuhnya akan dihilangkan oleh Allah dan musuh-musuh beliau akan berubah mencintainya. Dan Nabi Khidir memberitahukan kepadanya agar berjalan bersama satu kafilah Arab di Hadramaut. Nabi Khidir juga memberitahukan kepada beliau bahwa kafilah ini akan mempunyai hubungan yang dekat dengan keturunan beliau sampai hari kiamat. Selain itu Nabi Khidir memberikan kepada Sayyidina Husin 3 buah benda, yaitu bejana atau gelas yang besar, tongkat dan gendang. Ketika sang Sayyid pulang, ia mendapati kaum syiah zaidiyah sedang merajalela dan berbuat semena-mena. Lalu beliau memerintahkan agar menabuh gendang yang diberikan oleh Nabi Khidir diatas gunung. Ketika gendang tersebut ditabuh, dengan izin Allah, kaum Zaidiyah yang tadinya berlaku semena-mena tiba-tiba bertingkah seperti orang gila, dan merekapun kabur tercerai berai. Belakangan Imam Ahmad bin Hasan Al-Atthas mengatakan, “Kami telah melihat bejana yang diberikan Nabi Allah Khidir kepada Sayyidina Husein bin Syeikh Abubakar bin Salim beserta tongkatnya ada di Kota Inat”.

Hingga saat ini masih banyak keturunan Syeikh Abubakar bin Salim, disebutkan didalam kitab Mu’jamul Lathief, selain dari jalur Sayyidina Husin juga diantaranya yang terkenal dengan fam Al-Hamid, Bin Jindan, Al-Muhdar dan Al-Haddar. Keluarga Bin Jindan, nasab mereka bersambung kepada Ali bin Muhammad bin Husein bin Syeikh Abubakar bin Salim. Keluarga Al-Hamid, merupakan keturunan dari Al-Hamid bin Syeikh Abubakar bin Salim. Keluarga Al-Muhdhar, keturunan Umar Al-Muhdhar. Syeikh Abubakar bin Salim memberi nama Umar Al-Muhdhar karena ingin mendapatkan berkah Sayyidina Umar Al-Muhdhar bin Abdurrahman As-Seggaf, juga dengan harapan agar anaknya dapat meneladani dan mewarisi ilmu yang dimiliki oleh Umar Al-Muhdhar, seorang arif billah yang amat dikaguminya. Dan keluarga Al-Haddar, yang merupakan keturunan Ahmad Al-Haddar bin Abdullah bin Ali bin Muhsin bin Husin bin Syeikh Abubakar bin Salim.

Karya-karyanya

Antara lain:

- Miftah As-sara’ir wa kanz Adz-Dzakha’ir. Kitab ini beliau karang sebelum usianya melampaui
17 tahun.
- Mi’raj Al-Arwah membahas ilmu hakikat. Beliau memulai menulis buku ini pada tahun 987 H
dan menyelesaikannya pada tahun 989 H.
- Fath Bab Al-Mawahib yang juga mendiskusikan masalah-masalah ilmu hakikat. Dia
memulainya di bulan Syawwal tahun 991 H dan dirampungkan dalam tahun yang sama tangal
9 bulan Dzul-Hijjah.
- Ma’arij At-Tawhid
- Dan sebuah diwan yang berisi pengalaman pada awal mula perjalanan spiritualnya.

Kata Mutiara dan Untaian Hikmah

Beliau memiliki banyak kata mutiara dan untaian hikmah yang terkenal, antara lain:

Pertama:
Paling bernilainya saat-saat dalam hidup adalah ketika kamu tidak lagi menemukan dirimu. Sebaliknya adalah ketika kamu masih menemukan dirimu. Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa engkau takkan mencapai Allah sampai kau fanakan dirimu dan kau hapuskan inderamu. Barang siapa yang mengenal dirinya (dalam keadaan tak memiliki apa pun juga), tidak akan melihat kecuali Allah; dan barang siapa tidak mengenal dirinya (sebagai tidak memiliki suatu apapun) maka tidak akan melihat Allah. Karena segala tempat hanya untuk mengalirkan apa yang di dalamnya.

Kedua:
Ungkapan beliau untuk menyuruh orang bergiat dan tidak menyia-nyiakan waktu: “Siapa yang tidak gigih di awal (bidayat) tidak akan sampai garis akhir (nihayat). Dan orang yang tidak bersungguh-sungguh (mujahadat), takkan mencapai kebenaran (musyahadat). Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berjuang di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami”. Siapa pun yang tidak menghemat dan menjaga awqat (waktu-waktu) tidak akan selamat dari berbagia afat (malapetaka). Orang-orang yang telah melakukan kesalahan, maka layak mendapat siksaan.

Ketiga:
Tentang persahabatan: “Siapa yang bergaul bersama orang baik-baik, dia layak mendapatkan makrifat dan rahasia (sirr). Dan mereka yang bergaul dengan para pendosa dan orang bejat, akan berhak mendapat hina dan api neraka”.

Keempat:
Penafsirannya atas sabda Rasul s.a.w: “Aku tidaklah seperti kalian. Aku selalu dalam naungan Tuhanku yang memberiku makan dan minum”. Makanan dan minuman itu, menurutnya, bersifat spiritual yang datang datang dari haribaan Yang Maha Suci”.

Kelima:
Engkau tidak akan mendapatkan berbagai hakikat, jika kamu belum meninggalkan benda-benda yang kau cintai (’Ala’iq). Orang yang rela dengan pemberian Allah (qana’ah), akan mendapt ketenteraman dan keselamatan. Sebaliknya, orang yang tamak, akan menjadi hina dan menyesal. Orang arif adalah orang yang memandang aib-aib dirinya. Sedangkan orang lalai adalah orang yang menyoroti aib-aib orang lain. Banyaklah diam maka kamu akan selamat. Orang yang banyak bicara akan banyak menyesal.

Keenam:
Benamkanlah wujudmu dalam Wujud-Nya. Hapuskanlah penglihatanmu, (dan gunakanlah) Penglihatan-Nya. Setelah semua itu, bersiaplah mendapat janji-Nya. Ambillah dari ilmu apa yang berguna, manakala engkau mendengarkanku. Resapilah, maka kamu akan meliht ucapan-ucapanku dlam keadaan terang-benderang. Insya-Allah….! Mengertilah bahawa Tuhan itu tertampakkan dalam kalbu para wali-Nya yang arif. Itu karena mereka lenyap dari selain-Nya, raib dari pandangan alam-raya melaluiKebenderangan-Nya. Di pagi dan sore hari, mereka menjadi orang-orang yang taat dalam suluk, takut dan berharap, ruku’ dan sujud, riang dan digembirakan (dengan berita gembira), dan rela akan qadha’ dan qadar-Nya. Mereka tidak berikhtiar untuk mendapat sesuatu kecuali apa-apa yang telah ditetapkan Tuhan untuk mereka”.

Ketujuh:
Orang yang bahagia adalah orang yang dibahagiakan Allah tanpa sebab (sebab efesien yang terdekat, melainkan murni anugerah fadhl dari Allah). Ini dalam bahasa Hakikat. Adapun dalam bahasa Syari’at, orang bahagia adalah orang yang Allah bahagiakan mereka dengan amal-amal saleh. Sedang orang yang celaka, adalah orang yang Allah celakakan mereka dengan meninggalkan amal-amal saleh serta merusak Syariat - kami berharap ampunan dan pengampunan dari Allah.

Kedelapan:
Orang celaka adalah yang mengikuti diri dan hawa nafsunya. Dan orang yang bahagia adalah orang yang menentang diri dan hawa nafsunya, minggat dri bumi menuju Tuhannya, dan selalu menjalankan sunnah-sunnah Nabi s.a.w.

Kesembilan:
Rendah-hatilah dan jangan bersikap congkak dan angkuh.

Kesepuluh:
Kemenanganmu teletak pada pengekangan diri dan sebaliknya kehancuranmu teletak pada pengumbaran diri. Kekanglah dia dan jangan kau umbar, maka engkau pasti akn menang (dalam melawan diri) dan selamat, Insya-Allah. Orang bijak adalah orang yang mengenal dirinya sedangkan orang jahil adalah orang yang tidak mengenal dirinya. Betapa mudah bagi para ‘arif billah untuk membimbing orang jahil. Karena, kebahagiaan abadi dapt diperoleh dengan selayang pandang. Demikian pula tirai-tirai hakikat menyelubungi hati dengan hanya sekali memandang selain-Nya. Padahal Hakikat itu juga jelas tidak erhalang sehelai hijab pun. Relakan dirimu dengan apa yang telah Allah tetapkan padamu. Sebagian orang berkata: “40 tahun lamanya Allah menetapkan sesuatu pada diriku yang kemudian aku membencinya”.

Kesebelas:
Semoga Allah memberimu taufik atas apa yang Dia ingini dan redhai. Tetapkanlah berserah diri kepada Allah. Teguhlah dalam menjalankan tatacara mengikut apa yang dilarang dan diperintahkan Rasul s.a.w. Berbaik prasangkalah kepada hamba-hamba Allah. Karena prasangka buruk itu bererti tiada taufik. Teruslah rela dengan qadha’ walaupun musibah besar menimpamu. Tanamkanlah kesabaran yang indah (Ash-Shabr Al-Jamil) dalam dirimu. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah mengganjar orang-orang yang sabar itu tanpa perhitungan. Tinggalkanlah apa yang tidak menyangkut dirimu dan perketatlah penjagaan terhadap dirimu”.

Keduabelas:
Dunia ini putra akhirat. Oleh karena itu, siapa yang telah menikahi (dunia), haramlah atasnya si ibu (akhirat).

Masih banyak lagi ucapan beliau r.a. yang lain yang sangat bernilai.

Manaqib (biografi) beliau

Banyak sekali buku-buku yang ditulis mengenai biorafi beliau yang ditulis para alim besar.

Antara lain:

- Bulugh Azh-Zhafr wa Al-Maghanim fi Manaqib Asy-Syaikh Abi Bakr bin Salim karya Allamah
Syeikh Muhammad bin Sirajuddin.
- Az-Zuhr Al-Basim fi Raba Al-Jannat; fi Manaqib Abi Bakr bin Salim Shahib ‘Inat oleh Allamah
Syeikh Abdullah bin Abi Bakr bin Ahmad Basya’eib.
- Sayyid al-Musnad pemuka agama yang masyhur, Salim bin Ahmad bin Jindan Al-’Alawy
mengemukakan bahawa dia memiliki beberapa manuskrip (naskah yang masih berbentuk
tulisan tangan) tentang Syeikh Abu Bakar bin Salim. Di antaranya; Bughyatu Ahl Al-Inshaf bin
Manaqib Asy-Syeikh Abi Bakr bin Salim bin Abdullah As-Saqqaf karya Allamah Muhammad
bin Umar bin Shalih bin Abdurraman Baraja’ Al-Khatib.

Al-Hamid

Yang pertama kali mendapat julukan (gelar) "Alhamid"
adalah waliyyullah Hamid bin Syaich Abi Bakar bin Salim bin Abdullah
bin Abdurrahman bin Abdullab bin Al Imam Abdurrahman Assegaf.
So’al gelar "Al-Hamid" yang disandangnya berdasarkan
bahasa Arab "Al-Hamid" yang berarti orang yang selalu suka berterima
kasih (selalu mensyukuri) atas semua nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Maka.
Waliyyullah Al Syaich Abi Bakar bin Salim memberi salah satu nama anaknya dengan
"Al-Hamid" dengan do’a pengharapan agar anaknya tersebut
menjadi orang yang selalu mensyukuri semua nikmat,yang diberikan oleh Allah
SWT, baik dalam keadaan suka maupun duka kenyataannya "Al-Hamid" bin
Syaich Abi Bakar menjadi seorang Waliyyullah yang bertawakkal kepada Allah dan
senang menolong orang dan suka memberikan apa yang dimilikinya kepada orang
yang membutuhkannya, hal tersebut dapat terlaksana karena Beliau termasuk golongan
orang-orang yang dijanjikan oleh Allah SWT seperti dalam FirmanNya : Dalam Al
Qur’anul Karim surat Ibrahim ayat 7 " Bila Kalian mensyukuri NikmatKu,
maka akan Kutambah lagi NikmatKu itu pada kalian."

Waliyyullah "Al-Hamid dilahirkan di kota Inat. Beliau dikaruniai 5
orang anak lelaki masing masing bernama :
1. Muthahhar, yang menjadi keturunan Al-Hamid "Al-Aqil
Muthahhar" dari anaknya yang bernama Aqil bin Muthahhar.
2. Umar, yang menjadi keturunan A1Hamid "Al-Salim bin
Umar", dari anaknya yang bernama Salim bin Umar. Yang banyak menurunkan
keturunan Al-Hamid terutama yang berada di Indonesia.
3. Abdullah,
4. Abubakar,
5. Alwi, Masing-masing keturunannya kebanyakan berada di
Hadramaut.
Waliyyullah "Al-Hamid" bin Al-Syaich AbiBakar pulang ke Rahmatullah
di kota Inat pada tahun 1030 Hijriyyah.


Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghim.punkannya
bersama sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Taubat Yang Paling Mengagumkan



Imam Muslim
dalam Shahihnya , dan juga para penulis kitab sunnah telah
meriwayatkan sebuah kisah taubat yang paling mengagumkan yang diketahui
oleh manusia. Pada suatu hari Rasulullah
duduk di dalam masjid, sementara para sahabat beliau duduk mengitari
beliau. Beliau mengajari, mendidik dan mensucikan (hati) mereka.
Majelis tersebut dipenuhi oleh sahabat besar Nabi .

Tiba-tiba datanglah seorang wanita berhijab masuk ke pintu masjid. Kemudian Rasul  pun diam, dan diam pula para sahabat beliau .
Wanita tersebut menghadap dengan perlahan, dia berjalan dengan penuh
gentar dan takut, dia lemparkan segenap penilaian dan pertimbangan
manusia, dia lupakan aib dan keburukan, tidak takut kepada manusia,
atau mata manusia dan apa yang akan dikatakan oleh manusia.


Dia
menghadap untuk mencari kematian. Kematian lebih ringan, jika disertai
oleh pengampunan dan penghapusan dosa. Menjadi ringan jika setelah
kematian tersebut terdapat keridhaan dan penerimaan dari sisi Allah .


Hingga dia sampai kepada beliau , kemudian dia berdiri di hadapan beliau, dan mengabarkan kepada beliau bahwa dia telah berzina!!


Dia berkata: "Wahai Rasulullah, aku telah melakukan (maksiat yang mewajibkan adanya) hukuman had (atasku), maka sucikanlah aku!"


Apa yang diperbuat oleh Rasulullah ?!
Apakah beliau meminta persaksian dari para sahabat atas wanita
tersebut? Tidak, bahkan memerahlah wajah beliau hingga hampir-hampir
meneteskan darah. Kemudian beliau mengarahkan wajah beliau ke arah
kanan, dan diam, seakan-akan beliau tidak mendengar sesuatu. Rasulullah
berusaha agar wanita ini mencabut perkataannya, akan tetapi wanita
tersebut adalah wanita yang istimewa, wanita yang shalihah, wanita yang
keimanannya telah menancap di dalam hatinya. Maka Nabi  bersabda kepadanya: "Pergilah, hingga engkau melahirkannya."


Berlalulah
bulan demi bulan, dia mengandung putranya selama 9 bulan, kemudian dia
melahirkannya. Maka pada hari pertama nifasnya, diapun datang dengan
membawa anaknya yang telah diselimuti kain dan berkata: "Wahai
Rasulullah, sucikanlah aku dari dosa zina, inilah dia, aku telah
melahirkannya, maka sucikanlah aku wahai Rasulullah!"


Maka
Nabipun melihat kepada anak wanita tersebut, sementara hati beliau
tercabik-cabik karena merasakan sakit dan sedih, dikarenakan beliau
menghidupkan kasih sayang terhadap orang yang berbuat maksiat, rahmat
kepada burung, dan menyayangi hewan.


Sebagian ahli ilmu berkata: "Bahkan beliau , memberikan rahmat hingga kepada orang kafir. Allah  berfirman tentang beliau: "Dan tidakklah aku utus kamu Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta."
Siapa yang akan menyusui bayi tersebut jika ibunya mati? Siapakah yang
akan mengurusi keperluannya jika had (hukuman) ditegakkan atas ibunya?
Maka Nabi  bersabda: "Pulanglah, susuilah dia, maka jika engkau telah menyapihnya, kembalilah kepadaku."


Maka
wanita itupun pergi ke rumah keluarganya, dia susui anaknya, dan
tidaklah bertambah keimanannya di dalam hatinya kecuali keteguhan,
seperti teguhnya gunung. Tahunpun bergulir berganti tahun. Kemudian
wanita itu datang dengan membawa anaknya yang sedang memegang roti. Dia
berkata: "Wahai Rasulullah, aku telah menyapihnya, maka sucikanlah
aku!"


Dia
dan keadaannya sungguh sangat menakjubkan! Iman yang bagaimanakah yang
membuatnya berbuat demikian. Tiga tahun lebih atau kurang, yang
demikian tidaklah menambahnya kecuali kekuatan iman.


Nabi
mengambil anaknya, seakan-akan beliau membelah hati wanita tersebut
dari antara kedua lambungnya. Akan tetapi ini adalah perintah Allah,
keadilan langit, kebenaran yang dengannya kehidupan akan tegak.


Nabi bersabda: "Siapa yang mengkafil (mengurusi) anak ini, maka dia adalah
temanku di sorga seperti ini…" Kemudian beliau memerintahkan agar
wanita tersebut dirajam (dilempari dengan batu hingga mati).


Maka
manusiapun berkumpul, dan merajamnya. Muncratlah darah dari kepala
wanita tersebut mengenai Khalid bin Walid, maka diapun mencacinya pada
jarak pendengaran Nabi .
Maka beliau bersabda kepadanya: "Tenang wahai Khalid, demi Allah, dia
telah bertaubat dengan pertaubatan yang seandainya penarik pajak
(pungli) bertaubat dengannya pastilah akan diterima darinya."


Dalam sebuah riwayat bahwa Nabi  memerintahkan agar wanita itu dirajam, kemudian beliau menshalatinya. Maka berkatalah Umar : "Anda menshalatinya wahai Nabi Allah, sungguh dia telah berzina." Maka beliau
bersabda: "Sungguh dia telah bertaubat dengan satu taubat, seandainya
taubatnya itu dibagikan kepada 70 orang dari penduduk Madinah, maka
taubat itu akan mencukupinya. Apakah engkau mendapati sebuah taubat
yang lebih utama dari pengorbanan dirinya untuk Allah ?" (HR. Ahmad )

Sesungguhnya
ini adalah rasa takut kepada Allah. Sesungguhnya itu adalah perasaan
takut yang terus menerus berada pada diri wanita mukminah tersebut saat
dia terjerumus ke dalam jerat-jerat syetan, dia menjawab jerat-jerat
tersebut pada saat lemah. Ya, dia telah berbuat dosa, akan tetapi dia
berdiri dari dosanya dengan hati yang dipenuhi oleh iman, dan jiwa yang
digerakkan oleh panasnya maksiat. Ya, dia telah berdosa, akan tetapi
telah berdiri pada hatinya tempat pengagungan terhadap Dzat yang dia
bermaksiat kepada-Nya. Sesungguhnya ini adalah taubat sejati wahai
hamba-hamba Allah. Ya, ini taubat nashuha wahai hamba-hamba Allah.

;;